Ulasan Novel "Girls in the Dark" karya Akiyoshi Rikako


Image result for ankoku joshi

Sejak kecil, anak-anak gadis senang bermain dengan rahasia. Anak laki-laki yang disukai, pesta ulang tahun teman, hadiah untuk hari ibu. Permainan rahasia-rahasiaan ini menyenangkan, menegangkan. Mengasyikkan. Sehingga tentu saja keseruannya tidak akan berakhir di sana. Menjelang pubertas, hormon meledak-ledak. Eksistensi diri, egoisme, dan perasaan menjadi sesuatu yang sangat sakral dalam diri gadis-gadis remaja. Rahasia yang semakin ekstrem. Keinginan untuk mengeksploitasi orang lain demi eksistensi diri. Keinginan untuk bermain dengan rahasia orang lain. Tentu saja tidak semua gadis remaja memiliki perasaan kuat mengenai hal-hal tersebut, namun keinginan liar yang disembunyikan jauh di dalam diri—yang berkaitan dengan egoisme, pasti ada di setiap gadis remaja.

Novel Girls In The Dark karya Akiyoshi Rikako adalah novel Jepang terjemahan yang diterbitkan Penerbit Haru pada tahun 2013. Judul Bahasa Jepangnya 暗黒女子 (Ankoku Joshi), yang secara harfiah berarti Gadis Kegelapan. Judul ini menarik karena selain memberi kesan persona gelap pada tokoh-tokoh gadisnya, judul ini juga menggambarkan latar tempat keseluruhan cerita yang terjadi di tengah kegelapan, acara yami-nabe[1]. Tema novel ini adalah misteri yang disajikan dengan cukup unik. Berbeda dengan novel misteri biasanya yang secara aktif mencari kebenaran, novel ini berpusat pada satu acara ekstrakurikuler dimana semua tokoh utamanya duduk dan makan bersama, selagi secara bergantian membaca naskah cerita pendek yang pada kenyataannya adalah analisis kematian teman mereka. Penyajian novel ini dibagi menjadi delapan bab; satu bab salam pembuka yami-nabe, enam bab yang masing-masing adalah isi naskah seorang tokoh yang dibacakan pada yami-nabe, dan satu salam penutup yami-nabe.

Begini sinopsisnya.
Seminggu yang lalu, ketua Klub Sastra SMA Putri Santa Maria, Shiraishi Itsumi, mati. Jatuh dari teras lantai atas; berlumuran darah. Di tangannya ada setangkai bunga lily. Gadis itu, gadis yang diidolakan satu sekolah. Cerdas, anggun, indah tiada tara. Anak pengelola sekolah pula. Jelas satu sekolah gempar karenanya. Ada rumor yang tersebar bahwa anggota klub sastra yang membunuhnya. Bunga lily itu jelas adalah petunjuk yang ingin Itsumi sampaikan tentang kematiannya. Masih dalam kebingungan, hari ini acara rutin Klub Sastra tetap dilaksanakan, yami-nabe dan pembacaan naskah yang dilakukan satu semester sekali. Tema pembacaan naskah kali ini adalah kematian Shiraishi Itsumi. Kenangan setiap anggota tentangnya, sudut pandang masing-masing tentang hari-hari sebelum kematiannya, dan apa yang dapat mereka simpulkan. Sembari menyantap hidangan misterius, satu demi satu naskah dibacakan—naskah penuh tipu muslihat, tuduh menuduh, dan bualan. Dengan acara ini, para anggota berharap mereka dapat menguak kebenaran di balik kematian Shiraishi Itsumi.

Konsep yang cukup menarik untuk sebuah novel misteri. Sekarang, mari membahas unsurnya satu-persatu.

Latar cerita dikembangkan lewat naskah para tokohnya. Penceritaannya elok dan mendetail. Mulai dari salon[2] Klub Sastra yang megah, sekolah katolik elit bernuansa barat, hingga penceritaan suasana yami-nabe yang membuat bulu bergidik. Semakin banyak tokoh yang bercerita, semakin jelas tergambar latar yang ingin disampaikan pengarangnya. Pengembangan latar ini juga membuat pembaca lebih mengerti tentang karakternya. Apa yang mereka sukai, kebiasaannya, dan makna emosional apa yang disimpan pada suatu benda yang ada di suatu ruangan.

Penokohan menurut saya adalah bagian yang paling menarik. Karena cerita berpusat pada naskah yang ditulis tokohnya masing-masing, cerita yang kita baca belum tentu objektif. Pembaca jadi sulit membedakan mana yang benar dan mana yang bohong. Namun dari sini, kita justru menjadi tahu bahwa naskah tersebut adalah gambaran keseluruhan dari tokoh yang menulisnya. Bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri, cara mereka menceritakan hubungan mereka dengan Shiraishi Itsumi, bagaimana mereka merespon krisis yang dihadapkan pada mereka, dan yang paling penting, kebohongan seperti apa yang mereka ceritakan. Pola penokohan ini berlaku untuk lima anggota Klub Sastra; Nitani Mirei, Kominami Akane, Diana Detcheva, Koga Sonoko, dan Takaoka Shiyo. Untuk wakil ketua dan ketua Klub Sastra, Sumikawa Sayuri dan Shiraishi Itsumi, pola penokohannya berbeda. Shiraishi Itsumi pada awalnya diceritakan oleh tokoh-tokoh lain sedemikian rupa, namun di salah satu bab dimana dia menulis naskahnya sendiri (dibacakan oleh tokoh lain), Itsumi menguak semuanya dan dari sana barulah bisa dilihat watak semua tokoh yang sesungguhnya—terutama watak Itsumi sendiri. Sedangkan untuk Sumikawa Sayuri, pengembangan wataknya adalah yang paling ekstrem. Hingga nyaris akhir cerita, Ia hanya nampak sebagai karakter polos yang membantu dan menonton semuanya dari belakang layar, tidak memiliki watak yang kuat seperti tokoh lainnya. Namun di akhir cerita, Ia barulah membuka dirinya dan wataknya yang sebenarnya muncul. Penokohan yang dikembangkan pengarang benar-benar penuh kejutan.

Pilihan kata yang digunakan pengarang juga unik. Lagi-lagi, karena setiap babnya adalah naskah yang ditulis oleh tokoh-tokohnya sendiri, gaya penulisan terus berubah sesuai dengan penokohan. Pada dasarnya, pilihan kata yang digunakan adalah ragam bahasa formal, khas cerita terjemahan. Namun pada bab yang ditulis oleh Takaoka Shiyo—yang digambarkan sebagai pengarang novel ringan untuk remaja—gaya penulisan menjadi tidak formal dan seperti yang dikutipnya, cocok untuk cewek SMA. Namun walaupun menggunakan ragam bahasa formal, kalimat demi kalimatnya mudah dimengerti dan dicerna.

Kalimat-kalimat yang digunakan pengarang sebenarnya tidak begita ‘wah’. Tidak ada majas yang amat sangat puitis, namun semua kalimat yang digunakan dapat menyampaikan perasaan tokoh dengan baik. Emosi, keinginan, pendeskripsian. Kalimat-kalimat yang digunakan menjadikan cerita terasa lebih hidup, benar-benar seperti sesuatu yang akan ditulis gadis SMA anggota Klub Sastra. Selain itu, pada bab Salam Pembuka dan Salam Penutup, tokoh tidak membaca naskah cerita, melainkan bicara secara langsung. Dua bab tersebut hanya berisi ucapan Sumikawa Sayuri, tanpa deskripsi kejadian, tanpa narasi, kecuali yang diucapkan Sayuri. Benar-benar serasa mendengar percakapan dalam gelap. Begitu Sayuri menangis, pengarang tidak mendeskripsikannya dengan “Sayuri menangis.”, melainkan dari ucapan Sayuri sendiri, “...Maafkan saya karena menangis.”

Tokoh yang paling menonjol dari keseluruhan cerita ini tidak lain ada Shiraishi Itsumi. Sang gadis dikabarkan mati satu minggu lalu, dan Ia tak pernah datang ke acara yami-nabe saat cerita berlangsung. Namun, eksistensinya adalah yang paling kuat. Satu buku ini adalah buku yang mengenang kematian Itsumi, tokoh yang tidak pernah benar-benar muncul dalam cerita. Karakteristiknya digambarkan sebegitu kuat, latar belakangnya adalah yang paling lengkap. Shiraishi Itsumi tidak lain dan tidak bukan adalah pesona utama buku ini. Semua tokoh diceritakan bergantung padanya.

Namun jika harus memilih, saya lebih suka Sumikawa Sayuri, sang wakil ketua. Sayuri adalah satu-satunya tokoh utama yang tidak membacakan naskah—tidak memiliki babnya sendiri. Ia adalah satu-satunya tokoh yang jalan penceritaannya hanya dengan ucapannya, dan itu pun untuk salam pembuka dan penutup acara. Sungguh wataknya tidak bisa ditebak. Ia digambarkan sebagai perencana yang teliti dan cerdas, wanita yang anggun dan penuh karisma. Namun sebagai teman terdekat Itsumi, cahayanya terkubur di bawah pesona Itsumi yang gemilang. Dan Sayuri puas dengan itu. Untuk waktu yang lama, Ia hanya memerhatikan. Merencanakan apa yang diinginkan Itsumi, membantu rencana-rencana egois Itsumi, tanpa benar-benar melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Sayuri terpana dengan Itsumi yang brilian, Itsumi yang sombong dan berani. Bagaikan tersihir, Sayuri tidak pernah bosan menonton kisahnya. Namun dari sini, pembaca bisa tahu bahwa Sayuri membantu Itsumi bukan karena Ia adalah temannya, melainkan karena Itsumi menarik. Sayuri bahkan menyatakan kisah Itsumi sebagai karyanya—karena memang betul, semua direncanakan oleh Sayuri. Sayuri memang tidak memiliki babnya sendiri, namun semua perbuatan yang diambil tokoh-tokoh jatuh tepat pada rencana Sayuri. Sayuri ini kompleks. Ia benar-benar egois dan idealis, sebuah bentuk sempurna dari pencarian jati diri gadis SMA pada titik maksimal, hingga menyampingkan moralitasnya. Ketika Itsumi telah mendapatkan apa yang Ia inginkan dan ambisinya padam, Sayuri baru tersadar akan hal ini. Sayuri tidak ingin pemeran utama yang puas seperti itu. Itsumi yang seperti ini membosankan, tidak cocok menjadi pemeran utama kisah yang Ia idamkan. Jiwa Sayuri yang pada awalnya terlihat tenang pada kenyataannya adalah yang paling ekstrem. Ia siap mengkhianati sahabat terdekatnya kapanpun saat sahabat tersebut sudah tidak lagi memenuhi idealismenya. Tentu saja saya tidak merasa apa yang dilakukan Sayuri adalah benar, tapi saya rasa Sayuri adalah tokoh yang paling sukses menggambarkan ekstremisme gadis SMA milenial yang ingin disampaikan buku ini.

Omong-omong, buku ini sudah mendapatkan adaptasi film dan komik dengan judul yang sama; Ankoku Joshi.

Image result for ankoku joshiImage result for ankoku joshi


[1] yami-nabe = Arti harfiahnya "panci dalam kegelapan". Peserta akan membawa bahan makanan yang dirahasiakan dari orang lain. Semua orang harus memasukkannya ke dalam panci berisi air mendidih dan kemudian memakannya. Karena saling tidak tahu bahan masing-masing, biasanya rasanya jadi tidak keruan. Kalau beruntung, jadi enak.

[2] salon = Sebuah ruangan tempat orang berkumpul, biasanya untuk membicarakan hal-hal seperti sastra atau kegiatan akademik lainnya (bahasa Prancis).

Komentar

Postingan Populer