Ulasan Buku "Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme" karya A. Setyo Wibowo
Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme
adalah buku karya A. Setyo Wibowo yang diterbitkan PT Kanisius pada
tahun 2019.
Bisa
diketahui dari judulnya, buku ini membahas Stoikisme,
aliran ilmu filsafat yang pada
intinya mengajarkan manusia memilih sikap hidup dengan menekankan apatheia, hidup pasrah atau tawakal
menerima keadaan di dunia, tidak berprasangka buruk terhadap nasib, dan pada
akhirnya mencapai ataraxia, kebebasan
dari rasa gelisah, takut, atau cemas.
Buku
ini terbagi menjadi tiga bab.
Bab
1 – Filsafat sebagai Laku Hidup
Filsafat
Yunani-Hellenistik mulai paruh kedua abad 4 SM sampai zaman romawi ajaran-ajarannya
mendarat, diperlakukan sebagai laku hidup, berbeda dengan filsafat modern dan
pascamodern yang seringkali abstrak dan membahas hal spesifik. Filsafat juga dijabarkan
Sokrates sebagai praktik latihan mati, yang didefinisikan Pierre Hadot berarti
filsuf yang menyadari kematian diharapkan kesadaran akan kehidupannya lebih
bening sehingga bisa melihat hal-hal yang benar-benar berarti dalam kehidupan.
Karena itu, Stoikisme adalah aliran filsafat yang merupakan laku hidup. Di mata
kaum stoik, penyakit jiwa utama kita adalah emosi negatif yang berasal dari
cara berpikir dan cara menilai yang salah.
Bab
2 – Epiktetos: Filsafat sebagai Askesis
Epiktetos
lahir di Hierapolis tahun 50-60 Masehi sebagai budak. Ia pergi ke Nicopolis dan
mengajar filsafat di sana, hidup serba sederhana. Epiktetos tidak menulis buku,
namun pemikiran dan ajarannya dikumpulkan ke dalam 8 buku oleh muridnya Lucius
Flavianus. Epiktetos berpendapat filsafat penting sebagai praktik kehidupan,
bukan hanya wacana. Filsafat stoik yang dikembangkan Epiktetos menekankan
praktik nyata dan pengaruhnya terhadap kehidupan. Stoikisme sederhananya
mengajarkan bagaimana kita meraih apa-apa yang bisa kita peroleh: kebaikan apa
yang bisa kita dapatkan dan kemalangan/keburukan apa yang bisa kita hindari.
Bagi Stoikisme, dengan berkonsentrasi pada masa kini, kita terbebaskan dari nafsu-nafsu,
hasrat berlebihan, emosi negatif yang sebagian besar disebabkan oleh masa lalu
maupun masa depan yang tidak tergantung pada diri kita. Stoikisme memiliki
teori negatif dan positif. Teori negatif diantaranya Agere Contra, tidak melakukan hal yang biasanya kita lakukan.
Dengan ini, kita mendapat perspektif baru dan bisa saja mendapat ketenangan
batin. Teori positif berarti menyadari bahwa manusia tidak terpengaruh oleh
suatu kejadian, tapi cara pandang manusia terhadap kejadian tersebut. Bukan apa
yang terjadi pada manusia, tapi bagaimana manusia menanggapinya. Stoikisme
mendorong kita membedakan “apa yang tergantung pada diri kita” dan “apa yang
tidak tergantung pada diri kita”, dan mengambil tindakan bijak dengan tidak
memikirkan apa yang tidak tergantung pada diri kita.
Bab
3 – Marcus Aurelius: Integritas Penguasa
Marcus
Aurelius (seorang Stoik yang juga Kaisar Romawi) menganjurkan hidup ini setiap
saat harus: a) mewaspadai pikiran, b) berpasrah kepada apa pun kejadian yang
diberikan nasib, dan c) selalu memilih bertindak membantu komunitas manusia
sesamanya. Filsafat masih dianggap sebagai seni hidup, praktik yang membentuk
cara hidup secara tertentu. Sejak muda Marcus Aurelius sudah tertarik pada
filsafat. Setelah Kaisar Antonius wafat (161), Ia naik takhta. Karya utamanya
adalah sebuah catatan harian yang berjudul Eis
Heauton (Meditations), yang isinya berupa ucapan terima kasih, rasa syukur,
dan refleksi-refleksi Marcus Aurelius walaupun banyak mengalami masalah selama
menjadi kaisar. Cara Marcus mengontrol diri diantaranya 1) mendefinisikan suatu
kejadian secara tepat, 2) tidak membesar-besarkan suatu hal, dan 3)
mengendalikan emosi negatif. Kaum stoik menerima bahwa apa-apa yang ada sudah
diatur alam semesta. Dan dengan mengerti itu, hal remeh sekalipun akan terasa
indah dan benar, selaras dengan alam semesta.
Buku
ini ditunjang oleh banyak foto yang diiringi kutipan dan beberapa grafik. Foto
yang diiringi kutipan biasanya adalah pepatah/ajaran ikonik dari tokoh-tokoh
stoik sebagai penunjang paragraf yang sedang dibahas. Dengan adanya foto dan
kutipan ini, orang yang membaca sekilas sekalipun akan bisa mengerti dan
tertarik dengan apa yang tengah dibahas. Sedangkan grafik biasanya memuat
poin-poin penting dalam ajaran Stoikisme dan relasinya terhadap satu sata lain,
memudahkan pembaca untuk mengerti isi bahasan.
Sistematika
buku cukup runtut, namun banyak bagian yang dirasa berbelit dan diulang-ulang.
Meskipun begitu, buku ini cukup mudah diikuti meskipun pembaca belum pernah
belajar filsafat sebelumnya. Di awal buku dijelaskan terlebih dahulu apa itu
filsafat klasik, barulah kemudian masuk ke topik bahasan utama yaitu stoikisme,
sehingga pembaca awam sekalipun tidak perlu khawatir jika tidak tahu apa-apa
mengenai filsafat. Buku ini tetap cukup mudah diikuti bahkan jika pembaca hanya
ingin refleksi diri dan bukan belajar filsafat.
Bahasa
yang digunakan cukup rumit. Saya bisa melihat penulis sudah mencoba membuat
buku lebih ringan dengan menggunakan contoh kehidupan sehari-hari untuk membuat
pembaca lebih mengerti inti bahasannya, namun mau bagaimanapun, memang agak
sulit mencari buku bidang ilmu filsafat yang bahasanya mudah dipahami. Buku ini
menggunakan banyak sekali istilah bahasa latin, dan topik bahasannya banyak
mengutip dari filsuf klasik yang bahasanya sulit dipahami.
Penulis
membuka tulisannya dengan mengenalkan apa itu filsafat klasik, bagaimana
pembagiannya, dan dimana stoikisme tumbuh di masa awal perkembangan filsafat
tersebut. Bagian awal lebih mengacu kepada bagaimana perbedaan filsafat klasik
dengan filsafat modern, dan manfaat filsafat klasik secara ringkas. Penulis
mengakhiri bukunya dengan bagian penutup yang menekankan kembali inti bahasan
tiga bab ke belakang; filsafat sebagai praktis kehidupan.
Komentar
Posting Komentar